Senin, 09 Mei 2016

Menguak yang tak terkuak



Menguak yang tak terkuak

Apa yang salah dengan tubuh perempuan
Mengapa mereka di perkosa
Mengapa mereka di anggap rendah
Mengapa kau salahkan tubuh mereka
Bajunya lah, perangainya lah, suaranya lah…
Lalu alasan apa lagi yang akan kau nyatakan? 
Iya karena dia perempuan.. bukan begitu
Dia layak di nomor duakan, dia layak di pasung oleh aturan, dia layak di perkosa
Itukah keadilan….
Senyap aku dengar angin sabana mengabarkan…Kau salah menilai
Kau yang lahir dari rahim perempuan
Mengapa kau dustakan perempuan
Angin sabana kian keras bertiup
Di purnama bulan kelima
Sembari membawa jawaban mengapa

Anakalang, 6 Mei 2016

Catatan siang di bulan hujan
Hujan membasahi ilalang di samping rumahku, saat hujan reda aku baru berani nyalakan TV karena sejak tadi halilintar menggelegar. Siang itu aku melihat berita di televisi, ada kasus YY perempuan 14 tahun yang di perkosa 14 orang di Bengkulu, Tuhan apalagi ini, iblis sekali mereka. Prihatin, sedih perih aku rasakan saat itu juga, apa yang terjadi dengan bangsaku, mengapa mereka tega?  Aku dihujam ribuan pertanyaan.
Lilin menyala seantero negeri, dan kami berdoa di gereja untuk YY semoga damai disana, semoga hal ini menjadi sebuah perubahan besar di bangsa ini menghadapi ancaman kekerasan seksual dimana-mana, agar pemerintah segera mensyahkan RUU Penghapusan kekerasan seksual, penguatan payung hukum menjadi kebutuhan mendesak bagi bangsa ini.

Bagaimana kasus perkosaan yang pelakunya pejabat?
Sambil memandang  padang sabana samping rumah yang basah oleh hujan, aku kembali bertanya  mengapa kasus perkosaan yang pelakunya pejabat, tokoh,anggota DPR,  orang kasta maramba/kasta tinggi di Sumba maupun NTT pada umumnya  sulit di seret ke meja hijau? Saya bertanya mengapa…
Perkosaan yang tak tersentuh di Nusa Tenggara Timur juga banyak terjadi seperti yang  menimpa guru wiyata bakti SMP di Sumba Tengah tahun 2015 lalu, pemerkosanya adalah kepala sekolahnya sendiri  tapi entah mengapa kasusnya tidak lanjut, ini karena pelaku pejabat sekolah ditambah dia dari kasta tinggi  jadi walau tertangkap bisa lepas lagi, saya heran kok penegak hukum menghujam ke bawah tapi tumpul keatas…inikah keadilan?  dan KPI  protes pada penyelesaian kasus yang tidak adil ini. Lalu kasus di Maumere pada 2 orang perempuan desa yang telah di dokumenterkan dalam film besutan kak Olin Monteiro dengan judul Masih Ada Asa, film yang diambil dari kisah nyata ini pelakunya adalah anggota DPR/pejabat publik tapi mengapa tidak terjerat, apakah uang  bisa menutup kasus hukum jika pelakunya orang yang dianggap  besar? hal ini memantik kesadaran kita untuk berpikir.
Bukankah hukum dibuat untuk keadilan, manusia dimata hukum setara tapi mengapa ada tebang pilih kasus? Ini masih terjadi di NTT, kami sangat berharap penegak hukum tidak mudah terintervensi oleh apapun dalam penegakan hukum.  Jika pemerkosa yang notabene dianggap “tokoh” ini di lepas…akan berapa banyak korban lagi? Inikah keadilan..berapa masa depan akan terengut, berapa mimpi terkoyak, berapa lagi perih sedih dan luka tercecer di bumi.

Fakta di masyarakat tentang kekerasan seksual
Berdasarkan data  Komnas Perempuan ada 15 jenis kekerasan seksual yang dialami perempuan di Indonesia, yaitu (1) perkosaan, (2) intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan,(3) pelecehan seksual, (4) ekploitasi seksual, (5) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, ( 6) prostitusi paksa, (7) perbudakan seksual, (8) pemaksaan perkawinan, (9) pemaksaan kehamilan, (10) pemaksaan aborsi, ( 11 ) Kontrasepsi/sterilisasi paksa, ( 12)penyiksaan seksual, ( 13) Pengkumuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, (14) praktik tradisi yang bernuansa seksual yang membahayakan / mendiskriminasi perempuan, (15)control seksual termasuk aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Di Sumba kasus kekerasan seksual seperti gunung es, yang terlihat di permukaan sedikit, yang di bawah banyak karena ketidaksetaraan gender menyebabkan korban malu melapor, Mengapa? Sebagian besar karena korban takut diancam pelaku, korban tidak tahu tempat melapor, kurangnya informasi tentang pelaporan kasus kekerasan seksual,  korban malu melapor karena menganggap aib, korban dianggap mencemarkan nama keluarga besar,  korban dianggap tidak suci lagi/ tidak gadis di mata masyarakat  akan menyebabkan korban tidak ada yang mau menikahi, anggapan bahwa nilai sebagai perempuan berkurang. Ketidakadilan gender karena kontruksi budaya lebih merugikan perempuan, ini yang harus di rubah jadi penyadaran pada masyarakat penting melalui tokoh agama/ tokoh masyarakat, pemerintah, aparat desa dan organisasi di desa/kabupaten yang mendorong perubahan paradigma bahwa kasus kekerasan seksual merupakan kejahatan kemanusiaan yang harus dilaporkan dan korban bukan pihak yang harus disalahkan malah seharusnya dilindungi dan didukung baik oleh keluarga maupun masyarakat, dukungan yang baik akan mempercepat pemulihan korban dan penegakan keadilan akan menyelamatkan jiwa yang lain, Adapun pemberian informasi tentang dimana melapor, Bagaimana cara melapor,  bagaimana proses hukumnya, ada pembiayaan tidak, adakah lembaga yang mendampingi korban, adakah dukungan psikis  harus di infokan kepada masyarakat agar masyarakat cepat tanggap jika ada kekerasan seksual di lingkungannya. 

Kekerasan seksual yang makin marak bahkan pelaku bisa siapa saja hingga orang terdekat korban maka  perlu memaksimalkan kerja Pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak ( P2TP2A), mengembalikan peran dan fungsi di bawah koordinasi Kementrian Pemberdayaan perempuan dan anak kepada peran dan fungsi koordinasi dalam penanganan kasus-kasus kekerasan perempuan dan anak , dukungan dana operasional dan infrastruktur  dan penguatan kapasitas pendamping menjadi kebutuhan mendesak agar lembaga ini bisa maksimal bekerja. Selanjutnya kebutuhan adanya rumah aman bagi korban kekerasan seksual karena di Sumba Tengah belum ada, perlunya Pusat krisis terpadu (PKT) yang bernaung di bawah rumah sakit untuk menangani perempuan dan anak agar difasilitasi di Sumba, karena di Indonesia menurut data Komnas perempuan baru 63 pusat krisis terpadu, padahal kebutuhannya banyak di berbagai daerah, Penegakan hukum yang berpihak pada korban dan  mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual agar segera di syahkan merupakan kebutuhan darurat bagi bangsa ini.

Mari saling mengeratkan tangan untuk peduli, kekerasan seksual mengancam di sekeliling kita, kerjasama semua pihak sangat dibutuhkan dalam menciptakan negeri yang aman bebas kekerasan seksual.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar